sumber foto: bce.unpad.ac.id
Hari Sabtu 2 minggu yang lalu menghadiri kegiatan Pendas PDUP sebagai pemateri. Menikmati suasana sekitar sekre PDUP membuat ingatan di masa lampau menari-nari di kepala. Terlalu banyak cerita tentang Jatinangor. Namun yang pasti ada 3 kenangan yang menjadi bagian hidup di Jatinangor yaitu kampus, Perisai Diri dan Kompleks UKM. Semuanya terpatri di hati karena semuanya adalah bagian perjuangan untuk bisa menjadi “saya” yang sekarang.
Bertemu dengan Jatinangor pada tahun 2002, beberapa waktu setelah pengumuman kelulusan SNMPTN diumumkan serentak. Kala itu saya mendapat informasi dari tetangga yang memiliki akses internet. Maklum tahun 2002 saya belum mengenal internet, handphone pun belum punya. Pak tetangga mengetuk pintu jam 10 malam hanya untuk menginfokan nama saya ada dalam pengumuman kelulusan. FYI, dulu pilihan saya adalah Antropologi UNPAD dan Bahasa Indonesia UPI. Tetapi saya ingin masuk UNPAD bukan karena jurusannya, melainkan karena di UNPAD ada Perisai Diri. Cerita lanjutan perihal Perisai Diri UNPAD akan diceritakan pada babak selanjutnya.
Kembali pada pengumuman, pak tetangga hanya memberikan kode kampus yang menerima saya. Jadi saya masih deg-deg an telah diterima di mana, UNPAD atau UPI? Tanpa menunggu lama, langsung buka paririmbon mengenai kode kampus. Waaaw…Alhamdulillah, saya diterima di Antropologi UNPAD. Pilihan Antropologi bukan asal pilih, karena sewaktu SMA pun saya sudah mempelajari Antropologi berhubung saya masuk kelas IPS. Sewaktu SMA nilai-nilai saya pada mata pelajaran penting di IPA sebetulnya lebih tinggi dari pelajaran di IPS, wali kelas selalu mengarahkan saya mengambil kelas IPA, tapi saya keukeuh ingin masuk IPS. Sampai orang tua pun sempat dipanggil gara-gara pilihan saya tersebut. Ternyata ke”keukeuhan” saya itu terjawab sudah, saya bisa masuk UNPAD.
Perjalanan pertama dilalui dengan proses registrasi. Kala itu saya mendapat Beasiswa Supersemar atas prestasi juara umum rangking 1 di SMA. Beasiswa tersebut berlaku sejak pendaftaran SNMPTN, yaitu bebas biaya alias gratis, malahan saya mendapatkan uang transport. Nominal yang masih ingat sampai sekarang, tahun 2002 saya mendapat uang transport 125 ribu. Jumlah tersebut sangat besar di masa itu. Nah…jika lolos SNMPTN, maka Beasiswa Supersemar pun akan menanggung biaya masuk dan biaya kuliah selama 1 tahun. Kala itu ibu dan bapak masih was-was, khawatir harus tetap bayar. Sehingga mereka menyiapkan uang dengan cara meminjam kepada kerabat. Maklum, kami adalah keluarga sederhana dengan penghasilan orang tua yang bisa dikatakan di bawah standar.
Datang ke kampus UNPAD Dipati Ukur bersama ibu dengan membawa bukti kelulusan serta bukti sebagai penerima Beasiswa Supersemar. Kami diminta langsung ke meja kasus dan menyerahkan persyaratan yang diminta. Alhamdulillah…benar saja saya bebas biaya masuk. Biaya masuk watu itu kalau tidak salah Rp. 1.250.000,00 ditambah biaya kaos dan jas almamater sebesar Rp.60.000,00. Kami hanya diminta untuk membayar biaya kaos dan jas almamater. Ibu terlihat sangat bahagia, terlihat dari binar matanya dan ucapan syukur berulang kali. Setelah membayar saya diarahkan menuju meja pembuatan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). Dengan muka lecek dan masih polos (halah..) saya masuk antrian foto KTM. Jepreeet…pemotretan telah usai, KTM langsung jadi dengan foto yang aduhayyyy “lucu” nya. Di KTM saya mengetahui bahwa NMP saya adalah GIE02027. Saya sah menjadi mahasiswa UNPAD angkatan 2002. Tanpa menunggu lama, kami langsung pulang dan mampir terlebih dahulu ke rumah kerabat yang sudah dipinjami uangnya. Kala itu juga kami kembalikan uang yang kemarin malam baru saja dipinjam. Alhamdulillah saya bisa masuk UNPAD tanpa membebani hutang kepada orang tua.
Di minggu selanjutnya, saya mendapat undangan untuk hadir di kampus FISIP UNPAD Jatinangor untuk keperluan pengenalan kampus. Naik bus DAMRI Dipatiukur-Jatinangor bersama ibu dan bapak, bagaikan menempuh perjalanan yang sangaaat jauuuh. Sesampainya di depan kampus UNPAD Jatinangor, terbengong-bengong dan takjub, luas amat yaaa….untungnya kampus FISIP masih terbilang paling dekat dari gerbang UNPAD. Dengan menggunakan celana jeans dan kemeja kotak-kotak dilinting melalui jalanan menanjak. Sinar matahari yang terik menjadikan muka ini semakin berkilau dan “”hinyai.
Masuk kampus FISIP dan langsung mencari Jurusan Antropologi. Setelah menemui administrasi kampus, saya diarahkan untuk ke kantin FISIP. Menurut informasi akan ada pengenalan. Kala itu saya hanya bertemu 1 orang teman baru, tapi lupa siapa orangnya. Berada di depan kantin FISIP, saya celingak celinguk. Kantin terlihat kumuh dengan asap rokok mengepul di dalamnya. Lalu setelah diintip banyak makluk gondrong berpakaian hitam. Nah kakak angkatan yang pertama kali saya kenal adalah Kang Roqi yang ternyata menjadi korlap dalam Inisiasi HUMAN UNPAD. Kang Roqi mengenalkan saya kepada makluk gondrong yang bernama kang Dino dan beberapa orang lainnya. Lupa-lupa ingat siapa orangnya. Kalau tidak salah ada akang-akang yang dipanggil Kences , Cepot, dan Toeji. Saat itu saya diminta mencari yang namanya kang Timbul. Saat berusaha bertanya, semua yang saya tanya mengaku namanya Timbul…duh tenggelam deh guweh…
Sampai akhirnya, saya tidak menemukan Kang Timbul yang sesunggunya. Menyerah…hingga akhirnya saya diminta unjuk kemampuan. Kalau tidak salah teman saya menyanyi, nah saya ngapain?? Sempat bingung…selanjutnya diputuskanlah dengan percaya diri nya mempraktikan teknik Minangkabau. Ciat..ciat…ciat…paling 15 gerakan kali ya tanpa pake menggulung. Sukses lah membuat akang-akang gondrong dan beberapa makluk asing lainnya bertepuk tangan. Ah legaaa…dan saya boleh pulang.
Namun perjuangan belum usai…setelah acara perkenalan di kantin tersebut, akan ada rangakaian kegiatan ospek jurusan yang disebut INISIASI. Saya lupa jumlah pasti mahasiswa/i yang mengikuti inisisai, kalau tidak salah 40 orang lebih karena ada yang tidak ikut dan ada juga yang mengundurkan diri menjadi mahasiswa Antropologi. Kegiatan INISIASI ini benar-benar melatih kebersamaan. Kami satu angkatan harus berangkat bersama dari gerbang sampai kampus FISIP selama kurang lebih 1 bulan. Menggunakan baju kotak-kotak dan celana PDL sambil membawa katu bakar yang dibeli di “Toko Yanto”. Tiap melewati kantin diteriaki, “Siapaaaa kaliaaaaan??!!”, lalu kami menjawab serentak “Pemula HUMAN!!!”. Sambil kadang kakak-kakak angkakatan iseng. Apalagi terhadap maba-maba yang bening dan kece. Untung saya mah kucel and the kummel jadi aman dari gangguan kakak-kakak yang terkutuk.
Selama masa inisiasi kami juga melakukan latihan menari dan semacam cabaret yang akan ditampikan pada acara malam puncak INISIASI. Latihannya tiap sore sampai malam hari, dingin, hujan, lelah, dihajar teruus... Tersiksaaaa banget rasanya, mau kuliah di UNPAD aja kok ribet amat prosesnya. Paling sebel kalau “sawasta” sudah datang. Biasanya mereka ngacak-ngacak acara latihan. Ngebully maba dengan bebasnya. Untung sih dulu belum tenar tuh istilang bully membully. Tapi kegiatan tersebut benar-benar menguji kekompakan angkatan dan semangat juang yang tinggi.
Singkat cerita, acara puncak INISIASI pun berlangsung di Kiarapayung. Kami menari dan bernyayi mengelilingi api ungun . Pada penampilan tersebut ada yang berperan sebagai hanoman, yang akhirnya sang pelaku dipanggil dengan sebutan “Goku”. Saat tampil muka kami dicoreng moreng menggunakan bedak saripohaci. Bedak padat bulat-bulat yang harus dicairkan dulu penggunaannya. Pada saat dibalurkan ke wajah, rasanya memang nyeess adem. Tapi setelah kering, wajah berasa berat. Kala itu kami tidak tahu bagaimana penampakan muka yang sesungguhnya karena kaca tak tersedia. Melihat muka teman pun tidak berani tertawa. Kalau mau diceritakan lebih panjang lagi ga sangguuuup…sungguh perjuangan yang luar biasa. Sampai-sampai ada teman yang berteriak “Si Sum mau pulaaaaaang….!!”.
Memiliki teman-teman kampus dari berbagai daerah di Indonesia adalah pengalaman baru bagi saya. Hal tersebut tentu saja saya dapat setelah saya menjadi mahasiswa Antropologi UNPAD. Aceh, Sumatera, Bangka, Belitung, Kalimantan, Jakarta, Bogor, Bekasi, bahkan Cimahi melebur jadi satu.
Bersama Rima dan Eni (Balikpapan dan Cimahi) |
Inisiasi usai, dunia terasa aman dan damai. Kami menjalani aktifitas sebagai mahasiswa secara normal. Dosen-dosen di Antrop saya pikir sih unik. Penampilannya berbeda dengan dosen lain pada umumnya. Jadi bisa dikatakan Antrop punya ciri khas. Mulai dari Dosen dan Mahasiswa semuanya unik. Dengan melihat penampilannya saja orang akan tahu dia anak Antrop atau dia dosen Antrop. Cerita mengenai dosen tidak akan saya ceritakan, khawatir kualat. Catatan penting tentang mereka kala itu “penampilan tidak akan mempengaruhi kecerdasan seseorang”. Dosen pembimbing skripsi saya adalah Bu Nanet dan Pak Budi Rajab. Mereka super kece.
Perjalanan selanjutnya saya menjadi makluk nomaden. Hidup berpindah-pindah dari kost-an satu ke kost-an lainnya. Kost-an yang sering menjadi tempat singgah adalah kost-an Asmini dan Rima. Kost-an yang paling ngebetahin adalah kost-an nya Rima. Kamarnya adem, bawaannya pengen merem mulu. Ditambah yang punya nya juga doyan tidur, jalan aja bisa sambil merem, sungguh ajaib.
Antropologi 2002 |
Pilihan untuk hidup nomaden di Jatinangor alasannya adalah untuk menghemat biaya dan tenaga. Kala itu, DAMRI adalah makluk langka. Kalau kita pulang ke Bandung lewat dari jam 4 sore atau pergi dari DU jam 7 pagi, sudah dipastikan harus berebut kursi. Kalah teknik, taktik dan tenaga ya terima nasib berdiri sampai tujuan. Ongkos kala itu hanya Rp. 2.000,00, lalu naik menjadi Rp. 3.500, 00, tapi kan lumayan juga kalau sehari 2x selama 5 hari. Belum lagi biaya makan di Jatinangor sehari minimal 2x ditambah jajan. Selain itu, saat kuliah dulu saya belum punya laptop, jangannya laptop, komputer aja belum punya. Jadi kost-an dengan sarana dilengkapi dengan komputer jadi sasaran empuk…hehe…kalau lagi ada dana sih pasti ke rental. Biaya rental 1 jam Rp.1.500,00 ditambah ancaman virus komputer. Untungnya bertemu dengan teman-teman yang baik hati, tidak sombong dan bersedia ditebengi.
Tempat makan langganan adalah warung soto “AAA”, nasi goreng pajawan, R.M. munggaran, ayam bakar edo, kantin POMA dan nasi gila sayang. Sekarang suasana Jatinangor berubah total banyak warung yang hilang. Kala itu, kalau mau makan yang lebih beradab harus menunggu samapi uang beasiswa cair. Selama kuliah saya bisa hidup dari beasiswa. Setelah Supersemar habis masanya, beasiswa dialihkan menjadi beasiswa BBM, setelah beasiswa BBM habis masanya dialihkan lagi menjadi beasiswa PPN. Kehidupan di Jatinangor terselamatkan dari beasiswa tersebut. Dana yang cair jumlahnya lebih besar dari uang SPP, jadi setelah dibayarkan SPP semesteran masih ada lebihnya. Dari situlah saya baru bisa “makan enak” dan jajan. Kalau masih ada lebihnya saya pakai untuk negerental komputer atau internetan di warnet . Malu kalau nebeng temen terus.
Tapi sungguh, kehidupan di DAMRI itu melatih melatih fisik dan mental. Karena kehidupan saya yang nomaden, saya biasa bawa baju banyak beserta peralatan mandi. Kebayangg lah tas nya segede apa. Maka dari itu sering disebut “si kura-kura ninja”. Perjuangan banget kalau di DAMRI harus berdiri, tas tetap nempel di pundak karena kalau ditaruh dibawah khawatir terseret karena DAMRI full banget. Ditambah kalau ada tukang juatan atau pengamen masuk, ribet dah. Seringkali tas dijadikan sandaran dagu saat berdiri agar bisa tetap tidur dengan tenang. Hal yang paling dinanti saat kondisi berdiri di DAMRI adalah ada penumpang di dekat tempat kita berdiri turun. Syurga banget kalau nemu begituan. Tapi kalau yang turun posisinya jauh…cukup ikhlas…sabar…ini ujian. DAMRI di kala itu pun belum ada yang ber AC, masih menggunakan AG (Angin Gelebug). Terima nasib lah serasa terpanggang di DAMRI ditambah semilir bau ketek penumpang lainnya. Kalau terpaksa memang harus pulang tapi malas berebut, saya seringkali menunggu malam sekalian dan pulang menggunakan bus “Babon” alis Bandung Cirebon. Pernah juga saking ga punya dana, jalan kaki dari Cicaheum sampai rumah (Cikutra Barat). Tapi di kala itu tidak ada perasaan ingin mengeluh terutama kepada orang tua. Malah ibu dan bapakseringkali tidak tahu anak gadisnya jalan kaki untuk sampai rumah. Sampai hari ini pun mereka tidak akan tahu (Alfatihah..)
Komunikasi dengan orang tua pada awal-awal perkuliahan bisa dibilang sangat minim. Karena kami belum punya telepon atau hanphone. Hingga pada akhirnya saya membeli handphone second merek Siemen. Hanphone dengan layar yang hanya bisa memuat 120 karakter dan hanya menampilkan 1 baris saja. Sejak saat itu saya biasa menulis kalimat dengan cara disambung-sambung tanpa spasi. Misal : “Bu, PuntenHariIniSayaGaPulang, nginepDiKostanRima”. Cara penulisan tersebut akhirnya menjadi ciri khas saya, dalam rangka hemat pulsa. Di saat orang lain handphonenya sudah polyphonic dengan ringtones yangber variasi, handphone saya ringtone telpon masuknya cuma “tulittulit…tulittulit…”, yang penting terdengar. Bahkan ringtone untuk sms masuk aja cuma “bip”, nyaris tak terdengar. Tahu-tahu kapasitas sms sudah full, lha wong hanya bisa menampung inbox dan outbox 30 SMS sajah.
Hiburan di Jatinangor salah satunya adalah naik bus UNPAD yang biasa disebut Bus Kuning karena warna nya kuning. Jalannya lambaaaat banget, sudah tua memang. Bisa berjalan aja sudah “uyuhan”. Kalau jadwal kuliah usai dan saat keluar gerbang FISIP ada Bus Kuning lewat, langsung lah kita rame-rame naik, bikin sempit. Sensasi bus yang “boyot” saat jalanan menanjak dan deg-deg an saat bus “nereleng” dengan mesin yang dimatikan di jalan yang menurun adalah hiburan bagi kami. Rasanya seperti naik rollercoaster. Kalau ke Dufan kan jauh dan mahal. Jadi cukup di kampus tercinta saja.
Jatinangor di malam hari kala itu yang sepi. Namun di tengan sepi dan dinginnya malam, saya dan seorang teman nangkring di jembatan penyebrangan dalam rangka penelitian mata kuliah Antropologi Perkotaan. Menghitung kendaraan yang lewat mulai dari kendaraan roda dua, kendaraan roda empat sampai kendaraan besar. Seruuu sih…semua dilakukan dengan bahagia.
Perjuangan selama di Jatinangor tidak akan pernah lekang oleh waktu. Walau kala itu saya jauh dari pantauan orang tua, komunikasi masih sulit, Alhamdulillah saya dipertemukan dengan teman-teman yang baik, sholeh dan shalihah, sehingga saya tidak terbawa dalam pergaulan yang salah. Ibu dan bapak sesekali akan menengok saya di Jatinangor, berkunjung ke tempat-tempat yang biasa saya singgahi mulai dari kampus, kost-an teman sampai sekre PD UNPAD. Mereka hanya ingin memastikan dan saya pun hanya ingin meyakinkan bahwa saya berada di lingkungan yang positif.
Orang tua memberi kepercayaan yang penuh kepada saya. Mereka menggenggam saya dengan erat sehingga saya pun berusaha memanfaatkan kepercayaan tersebut sebaik mungkin.
Hanya satu hal yang belum sempat terealisasi, foto di studio bersama mereka saat saya wisuda. Waktu itu kebetulan dana tidak mencukupi hingga akhirnya dipending. Saat dana sudah ada, rasanya sudah terlalu basi kalau foto wisuda di studio dilakukan. Padahal mungkin sederhana saja maksud mereka, bersyukur dan bangga.
Terima kasih Jatinangor, 5 tahun bersamamu merupakan pembelajaran hidup yang luar biasa. 9 tahun berlalu, namun saat menginjakan kaki kembali di Jatinangor, semangat perjuangan itu masih tetap ada.
Terima kasih pak..bu…karena sudah begitu sabar mengajarkan arti perjuangan, begitu sabar memberikan kepercayaan, dan begitu sabar menghadapi anaknya yang terkadang cuek terhadap penampilan. Sekarang saya pun sedang berjuang di almamater yang sama namun kampus yang berbeda. Berjuang tanpa kalian, terasa cukup berat. Namun saya akan tetap kuat, tetap tegar dan terus berjuang untuk menyelesaikan perkuliahan sesuai waktu yang ditentukan. Semoga Alloh Ridho…semoga Alloh menyampaikan pesan saya pada kalian untuk selalu mendo’akan anaknya. Semoga kalian bahagia di syurga. Aamin.
Keren catir...nggak nyangka td masukin keyworord antropologi unpad 2002 ketemu foto angkatan:)
BalasHapus