Akhir tahun, banyak terlihat penjual terompet di pinggir jalan.
Memang sudah menjadi pemandangan bertahun-tahun dan seperti menjadi sebuah tradisi.
Saya disini hanya ingin menyampaikan apa yang ada di otak. Tidak akan membahas pro kontra perihal terompet tersebut yang memang setiap tahun tidak ada habisnya.
Terompet yang dijual tersebut setahu saya dibuat secara manual, tradisional, dan menggunakan tenaga manusia.
Di setiap pembuatannya, ada bulir-bulir keringat dari para pembuatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dibuat dengan penuh kreatifitas menggunakan bahan-bahan yang sederhana.
Saya pernah melihat seorang bapak membuat terompet sambil menunggu pelanggan di tambal ban. Begitu khusuk, teliti, dan hati-hati. Dalam setiap sentuhannya pasti berharap terompet itu laku terjual.
Di setiap pembuatannya, ada bulir-bulir keringat dari para pembuatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dibuat dengan penuh kreatifitas menggunakan bahan-bahan yang sederhana.
Saya pernah melihat seorang bapak membuat terompet sambil menunggu pelanggan di tambal ban. Begitu khusuk, teliti, dan hati-hati. Dalam setiap sentuhannya pasti berharap terompet itu laku terjual.
Saya adalah orang yang tidak pernah membeli terompet, apalagi khusus untuk perayaan acara tahun baru. Karena saya pikir juga tidak ada faedahnya. Namun saya juga begitu empati terhadap para pengrajin dan penjual terompet itu. Dari banyak pekerjaan yang bisa mereka lakukan, mengapa menjadi pengrajin dan penjual terompet yang dipilih?
Namun setiap orang sudah punya garis hidup nya masing-masing, saya harus menghargai itu. Tentunya bersyukur dengan keadaan saya sekarang.
Namun setiap orang sudah punya garis hidup nya masing-masing, saya harus menghargai itu. Tentunya bersyukur dengan keadaan saya sekarang.
Belakangan dengan maraknya kasus difteri, banyak broadcast terkait pelarangan membeli terompet. Salah satu bunyi broadcast tersebut adalah :
"Maaf agak menyimpang, moga bermanfaat.
"Maaf agak menyimpang, moga bermanfaat.
info dari *Dinas Kesehatan* .
Nitip pesan, tolong diingatkan kepada orangtua, agar tidak membelikan terompet untuk anaknya disembarang tempat, mengingat sedang ada wabah *difteri* yang penularannya lewat percikan ludah...Terima kasih".
Isi himbauan tersebut memang ada benarnya. Namun, jika yang membaca adalah pengrajin atau penjual terompet, bagaimana ya rasanya? Bisa dibayangkan tidak?
Di berbagai media pun berita terkait bahaya terompet serta himbauan dari pemerintah agar tidak menggunakan terompet di perayaan malam tahun baru merebak. Namun, apakah pemerintah juga memberi himbauan kepada para pengrajin dan penjual mengenai bagaimana proses yang disarankan agar penularan yang dikhawatirkan dari terompet dapat diminimalisir bahkan dicegah?.
Saya yakin, tidak semua orang akan menghiraukan broadcast tersebut.
Dari literatur yang saya baca, belakangan ini para pengrajin telah mencoba terompet menggunakan pompa tangan. Sehingga sangat minim terkena pencikan air ludah.
Namun, mungkin masih ada saja yang mencobanya dengan cara ditiup.
Semoga para pengrajin, penjual dan bahkan pembeli yang terpaksa mencoba terompet dengan cara ditiup langsung tersebut tidak mengidap penyakit difteri. Agar pengrajin dan penjual terompet tidak menjadi pihak yang tersalahkan jika wabah difteri meluas.
Lalu...selain broadcast tersebut, belakang juga beredar terompet buatan Cina yang dikatakan pembuatan dan penggunaannya lebih steril karena tidak ditiup, dikenal juga terompet angin. Harga nya pun tidak lebih mahal dari terompet buatan pengrajin, hanya kisaran 15-20 ribu rupiah.
Dari beberapa berita yang saya baca, keberadaan terompet impor tersebut sudah menggeser keberadaan terompet lokal. Penghasilan pengrajin terompet lokal pun menurun drastis.
Dari beberapa berita yang saya baca, keberadaan terompet impor tersebut sudah menggeser keberadaan terompet lokal. Penghasilan pengrajin terompet lokal pun menurun drastis.
Semoga saja para pengrajin dan penjual terompet lokal tetap mendapatkan rezeki yang halal di akhir tahu 2017 dan awal tahun 2018 ini.
Yakinlah rezeki di tangan Alloh...
Komentar
Posting Komentar